Tahun 1997 para
petinggi dari setiap negara anggota ASEAN mengadakan kegiatan rutin “ASEAN
Summit” di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan kali ini membahas nasib masa depan
negara-negara ASEAN, dimana para petinggi negara yang hadir saat itu berhasil
merumuskan Visi ASEAN 2010. Dari rumusan tersebut terjadi dialog dan perdebatan
yang sangat luar biasa antar para petinggi ASEAN hingga akhirnya terciptalah Visi ASEAN 2020 yang isinya adalah
mewujudkan kawasan ASEAN yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan
ekonomi yang merata, ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan
status sosial ekonomi. Dapat digaris bawahi bahwa dari visi tersebut mempunyai target
untuk mengurangi serta menyelesaikan masalah kemiskinan di berbagai negara
anggota ASEAN pada tahun 2020.
Tidak berhenti
sampai disitu, pada tahun 2003 para petinggi ASEAN kembali mengadakan pertemuan
di Bali untuk membahas dan menindak lanjuti kesepakatan Visi ASEAN 2020, yang
kemudian menghasilkan “Bali Concord 2003”.Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat
untuk membentuk komunitas dari kesepuluh negara anggota ASEAN atau yang lebih
dikenal dengan ASEAN Community. Dalam
komunitas ini terdapat tiga bidang kerjasama utama yang akan dilaksanakan oleh para
negara penghuni ASEAN, ketiga bidang itu antara lain adalah ASEAN Political Security Community, ASEAN Socio Cultural Community dan ASEAN Economic Community. Mengingat
hal-hal yang direncanakan ini lebih baik dan juga memiliki peluang yang sangat
besar dalam kemajuan negara ASEAN, maka para petinggi ASEAN sepakat bahwa
pelaksanaan ASEAN Community akan dipercepat yaitu mulai berlaku pada tahun 2015
dengan mengusung slogan “One vision, one identity, one community”.
Khusus untuk
ASEAN Economic Community 2015 atau yang biasa disingkat dengan AEC 2015,
komunitas ini memiliki suatu acuan yang terbentuk pada tahun 2007 bernama
“ASEAN Economic Community Blue Print”. Dalam ASEAN Economic Community Blue
Print menyatakan bahwa seluruh negara ASEAN harus melaksanakan liberalisasi
perdagangan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil secara bebas.
Artinya tidak ada lagi sekat antar anggota negara ASEAN dalam melaksanakan liberalisasi
perdagangan. ASEAN seolah terinspirasi dari kesuksesan China yang mengimplementasikan
liberalisasi perdagangan, dimana dalam kurun waktu sepuluh tahun mereka
berhasil mengentaskan 25 juta rakyatnya yang berada dibawah garis kemiskinan.
AEC 2015 = Bencana?
Liberalisasi
perdagangan mempunyai konsekuensi pada tingkat persaingan yang semakin ketat
dalam memperebutkan peluang dalam pasar AEC 2015.Bila industri kita tidak mampu
bersaing di tataran ASEAN, maka AEC akan menjadi musibah. Indonesia sebagai negara
terbesar di ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta berpotensi dibanjiri
produk- produk negara lain di ASEAN atau bahkan dari luar ASEAN. Namun
sebaliknya bila industri kita mampu bersaing dalam pasar AEC maka akan membawa
berkah dan manfaat yang nyata bagi perekonomian nasional. Tantangan yang
dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan pasar tunggal ASEAN adalah daya
saing yang dimiliki Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya. Menurut World Economic Forum (WEF), lembaga yang
secara reguler mengukur The Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan
peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2012-2013 masih jauh di bawah
Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Bahkan menurut laporan
International Institute for Management Development (IMD), pada tahun 2013 daya
saing Indonesia juga kalah dari Filipina.
Peringkat daya
saing Indonesia yang relatif rendah tidak terlepas dari masih banyaknya
permasalahan, baik pada tataran makro maupun mikro. Pada tataran makro yang
masih merupakan permasalahan adalah penguatan koordinasi dan sinergitas kebijakan
antara pusat dan daerah, penyempurnaan tata kelola birokrasi, pemberantasan
korupsi, serta percepatan peningkatan pembangunan infrastruktur. Selaras dengan
itu, pada tataran mikro ialah daya saing atau kapabilitas perusahaan dalam
mengelola sumberdaya juga perlu ditingkatkan.
Lalu bagaimana
nasib pengusaha lokal di ajang pasar bebas se-Asia Tenggara tersebut. Ibarat
sebuah pertandingan sepak bola yang bukan hanya berbicara tentang persiapan untuk
memenangkan pertandingan, tapi juga butuh kerjasama yang baik bagi sebuah tim. Kerjasama
antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja ini sudah sepatutnya terjalin guna menghadapi
pertandingan besar di AEC 2015, jika tidak ingin Indonesia babak belur dan
dijadikan pasar oleh negara ASEAN lainnya.
Pemerintah harus
bisa membenahi sejumlah hal utama seperti high
cost economy dan kondisi infrastruktur demi kepentingan nasional. Pemerintah
juga belum memberikan dukungan penuh kepada para pengusaha selain itu
pemerintah belum memberikan kebijakan yang bisa meringankan pengusaha, baik
pemberian insentif maupun besaran bea keluar untuk sejumlah komoditas ekspor.
Pemerintah boleh
saja berbesar hati dan bangga dengan pertumbuhan industri yang terbilang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Namun, biaya logistik yang terlampau mahal serta
buruknya infrastruktur membuat para pelaku usaha di Indonesia “nervous” menghadapi AEC 2015. Faktor
penyebab mahalnya penanganan logistik itu terkait dengan pelayanan di pelabuhan
yang tidak efisien, penanganan dokumen kepabeanan, maraknya pungutan liar, dan
buruknya infrastruktur logistik di dalam negeri. Mahalnya ongkos logistik di
Indonesia menjadi fokus bersama untuk dicarikan solusi dalam rangka menghadapi
globalisasi sistem logistik di AEC 2015. Di Indonesia, biaya logistik rata-rata
masih 16% dari total biaya produksi. Adapun normalnya maksimal
hanya 9%-10%.
Pengintegrasian
logistik ASEAN akan didukung dengan kebijakan liberalisasi logistik yang antara
lain meliputi bidang usaha sea cargo
handling (penanganan kargo laut), storage
and warehousing (penyimpanan dan pergudangan), agen transportasi, jasa
kurir, layanan paket, kepabeanan, broker kargo, inspeksi kargo, dan jasa
dokumen transportasi. Waktu penyelesaian pengeluaran barang di pelabuhan
Indonesia juga masih jauh lebih lama dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN.
Dicontohkan sebagai berikut, waktu penanganan pengeluaran barang di pelabuhan
Singapura rata-rata hanya 0,8 hari dan Malaysia 1,7 hari, sedangkan di
pelabuhan Indonesia membutuhkan waktu hingga 3 hari untuk barang yang masuk
kategori jalur hijau dan lebih dari 5 hari untuk jalur merah.
Infrastruktur
fisik yang telah menjadi masalah di Republik ini selama 20 tahun juga jadi
sebuah masalah yang kompleks dalam menghadapi AEC 2015. Jika distribusi sulit
maka akan berimbas pada mahalnya harga suatu barang. Contohnya jeruk mandarin
yang didatangkan langsung dari Tiongkok lebih murah daripada jeruk Kalimantan.
Hal ini terjadi karena biaya transportasi dari Kalimantan ke Jawa lebih mahal
dibanding dari China ke Jawa. Sama halnya seperti harga semen, misalnya harga
semen di Papua lebih mahal 2 kali atau bahkan 3 kali lipat lebih tinggi dibanding
harga semen di Jawa dengan alasan jarak pabrik yang jauh. Contoh lain dalam
bidang pariwisata, biaya perjalanan dari Jakarta ke Bangkok lebih murah
dibandingkan biaya perjalanan dari Jakarta ke Raja Ampat. Selain logistik dan
infrastruktur, kelambanan birokrasi dan mahalnya izin usaha juga ikut ambil
andil dalam gagalnya pengusaha Indonesia bersaing di AEC 2015.
Belum lagi
masalah bagi para pekerja yang akan menghadapi kesepakatan ASEAN Free Trade Agreement akhir 2015 atau perdagangan bebas. Sebenarnya
dari pelaku usaha bebas untuk memilih pekerja, tapi kebanyakan pekerja-pekerja
yang memiliki keterampilan atau yang berada di level manajemen ke atas lebih
terampil para pekerja asing dibanding pekerja lokal. Pemerintah harus turun
tangan untuk menyelamatkan pekerja-pekerja tersebut dengan membuat sebuah
lembaga sertifikasi profesi karena dalam masyarakat ekonomi ASEAN nantinya
pekerja-pekerja yang diutamakan adalah pekerja yang memiliki sertifikat
profesi. Mungkin sudah saatnya sekarang para pekerja keluar dari isu soal Upah
Minimum Provinsi (UMP) atau Kehidupan Hidup Layak (KHL), tetapi sekarang lebih
kepada program untuk meningkatkan produktivitas dan skill para pekerja agar
bisa menghadapi ‘kenyataan’ di AEC 2015.
Bersama Raih AEC 2015
Indonesia merupakan
negara heterogen dengan berbagai jenis suku, bahasa, dan adat
istiadat yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Kita berharap terwujudnya
komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak sehingga
terjadi suatu dialog antar sektor. Nantinya juga diharapkan saling melengkapi
di antara para pemangku kepentingan sektor ekonomi di negara-negara ASEAN. Misalnya infrastruktur,
jika kita berbicara tentang infrastruktur, mungkin Indonesia masih sangat
dinilai lemah dalam menghadapi AEC ini, namun pemerintah melalui Menteri
Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengaku persiapan menghadapi AEC 2015
sudah bergulir sekitar 80% dan berharap mencapai 100% hingga akhir tahun ini.
Persiapan tersebut meliputi pembenahan dan perbaikan infrastruktur,
konektivitas antar daerah yang diharapkan bisa mendongkrak daya saing, dan
pembenahan sistem distribusi barang agar lebih efisien. Senada seperti yang
diutarakan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Mari Elka Pangestu
mengutarakan akan dibangunnya beberapa bandara seperti proyek yang akan
berjalan pembuatan bandara di Toraja (Sulawesi Selatan) dan Raja Ampat (Papua).
Jika kita mau
‘menampar’ pipi kita sendiri mungkin kita baru sadar sebenarnya Indonesia merupakan
salah satu negara yang produktif. Dilihat dari faktor usia, sebagian besar
penduduk Indonesia sekitar 70% merupakan usia produktif. Pada sisi
ketenagakerjaan, kita memiliki 110 juta tenaga kerja. Namun, apakah sekarang
ini kita sudah memanfaatkan jumlah itu dengan maksimal?
Kita harus mampu
meningkatkan kepercayaan diri. Sebetulnya Indonesia diprediksi akan menjadi
sebuah kekuatan tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar,
maka akan sangat tidak masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu
dengan hal tersebut. Melihat kondisi ekonomi
Indonesia yang stabil dan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa
tahun belakangan ini, sebenarnya dapat disimpulkan mengenai kesiapan Indonesia
dalam menyongsong AEC 2015 bisa dikatakan siap. Itu dapat dilihat dari
keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai masalah pada
bidang ekonomi, baik itu masalah dalam negeri maupun luar
negeri.
Indonesia juga telah
berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Kesenjangan antara pemerintah
pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan antara pengusaha besar dengan
usaha kecil dan menengah (UKM) serta peningkatan dalam beberapa sektor yang
mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing. AEC sebenarnya merupakan
bentuk integrasi ekonomi yang sangat potensial di kawasan ASEAN maupun di dunia. Barang, jasa,
modal, dan investasi akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi
regional memang suatu kecenderungan dan keharusan di era global saat ini.
Kita juga dituntut
harus bisa memanfaatkan sumber daya alam melalui era industri kreatif. Ada tiga
kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang agar SDM ini dapat
bersaing dengan bangsa-bangsa di Asia tenggara. Ketiga hal itu adalah high tech, high concept dan high touch.
High tech adalah kemampuan untuk
menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Arus teknologi dapat menjadi keuntungan
bagi seorang individu dalam mengembangkan dirinya, atau bahkan bisa menjadi
bumerang apabila kita gagap teknologi. Dengan adanya teknologi, dunia dapat
digenggam oleh tangan. Oleh sebab itu, mari kita belajar untuk dapat
mempelajari teknologi yang berada disekeliling kita untuk dapat melihat arus
informasi.
High concept adalah kemampuan yang harus
dimiliki seseorang, untuk dapat menciptakan ide-ide kreatif. Disini ibaratnya
seseorang dituntut agar bisa memiliki kemampuan dalam mengubah sampah menjadi
emas. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin dan segala
sesuatu di dunia ini diciptakan Tuhan juga bukan tanpa manfaat. Kemampuan yang
ketiga adalah high touch, ini adalah
kemampuan dalam bidang social untuk dapat bekerja sama dengan orang lain.
Kita harus
segera berkaca dan berbenah diri untuk menghadapi persaingan yang lebih kompetitif
dan berkualitas global. Tidak sampai satu tahun lagi kita tiba di gerbang AEC
2015, kita sudah harus siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang agar
tidak terbengong-bengong menyaksikan lalu-lalang tenaga asing di ‘rumah kita’,
agar tidak menjadi ‘babu’ di rumah sendiri. Semoga seluruh masyarakat Indonesia
ini bisa saling membantu dan sadar agar terwujud kehidupan ekonomi dan sosial
yang layak.
Mari bersama
kita ucapkan “AEC 2015?...Siapa takut!!!!”











