Jumat, 28 Februari 2014 | By: Sick6shit

ASEAN Economic Community 2015 Menggilas

Tahun 1997 para petinggi dari setiap negara anggota ASEAN mengadakan kegiatan rutin “ASEAN Summit” di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan kali ini membahas nasib masa depan negara-negara ASEAN, dimana para petinggi negara yang hadir saat itu berhasil merumuskan Visi ASEAN 2010. Dari rumusan tersebut terjadi dialog dan perdebatan yang sangat luar biasa antar para petinggi ASEAN hingga akhirnya terciptalah Visi ASEAN 2020 yang isinya adalah mewujudkan kawasan ASEAN yang stabil dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, ditandai dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan status sosial ekonomi. Dapat digaris bawahi bahwa dari visi tersebut mempunyai target untuk mengurangi serta menyelesaikan masalah kemiskinan di berbagai negara anggota ASEAN pada tahun 2020.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun 2003 para petinggi ASEAN kembali mengadakan pertemuan di Bali untuk membahas dan menindak lanjuti kesepakatan Visi ASEAN 2020, yang kemudian menghasilkan “Bali Concord 2003”.Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat untuk membentuk komunitas dari kesepuluh negara anggota ASEAN atau yang lebih dikenal dengan ASEAN Community. Dalam komunitas ini terdapat tiga bidang kerjasama utama yang akan dilaksanakan oleh para negara penghuni ASEAN, ketiga bidang itu antara lain adalah ASEAN Political Security Community, ASEAN Socio Cultural Community dan ASEAN Economic Community. Mengingat hal-hal yang direncanakan ini lebih baik dan juga memiliki peluang yang sangat besar dalam kemajuan negara ASEAN, maka para petinggi ASEAN sepakat bahwa pelaksanaan ASEAN Community akan dipercepat yaitu mulai berlaku pada tahun 2015 dengan mengusung slogan “One vision, one identity, one community”.

Khusus untuk ASEAN Economic Community 2015 atau yang biasa disingkat dengan AEC 2015, komunitas ini memiliki suatu acuan yang terbentuk pada tahun 2007 bernama “ASEAN Economic Community Blue Print”. Dalam ASEAN Economic Community Blue Print menyatakan bahwa seluruh negara ASEAN harus melaksanakan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil secara bebas. Artinya tidak ada lagi sekat antar anggota negara ASEAN dalam melaksanakan liberalisasi perdagangan. ASEAN seolah terinspirasi dari kesuksesan China yang mengimplementasikan liberalisasi perdagangan, dimana dalam kurun waktu sepuluh tahun mereka berhasil mengentaskan 25 juta rakyatnya yang berada dibawah garis kemiskinan.
AEC 2015 = Bencana?
Liberalisasi perdagangan mempunyai konsekuensi pada tingkat persaingan yang semakin ketat dalam memperebutkan peluang dalam pasar AEC 2015.Bila industri kita tidak mampu bersaing di tataran ASEAN, maka AEC akan menjadi musibah. Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta berpotensi dibanjiri produk- produk negara lain di ASEAN atau bahkan dari luar ASEAN. Namun sebaliknya bila industri kita mampu bersaing dalam pasar AEC maka akan membawa berkah dan manfaat yang nyata bagi perekonomian nasional. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan pasar tunggal ASEAN adalah daya saing yang dimiliki Indonesia masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut World Economic Forum (WEF), lembaga yang secara reguler mengukur The Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2012-2013 masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Bahkan menurut laporan International Institute for Management Development (IMD), pada tahun 2013 daya saing Indonesia juga kalah dari Filipina.
Peringkat daya saing Indonesia yang relatif rendah tidak terlepas dari masih banyaknya permasalahan, baik pada tataran makro maupun mikro. Pada tataran makro yang masih merupakan permasalahan adalah penguatan koordinasi dan sinergitas kebijakan antara pusat dan daerah, penyempurnaan tata kelola birokrasi, pemberantasan korupsi, serta percepatan peningkatan pembangunan infrastruktur. Selaras dengan itu, pada tataran mikro ialah daya saing atau kapabilitas perusahaan dalam mengelola sumberdaya juga perlu ditingkatkan.

Lalu bagaimana nasib pengusaha lokal di ajang pasar bebas se-Asia Tenggara tersebut. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola yang bukan hanya berbicara tentang persiapan untuk memenangkan pertandingan, tapi juga butuh kerjasama yang baik bagi sebuah tim. Kerjasama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja ini sudah sepatutnya terjalin guna menghadapi pertandingan besar di AEC 2015, jika tidak ingin Indonesia babak belur dan dijadikan pasar oleh negara ASEAN lainnya.
Pemerintah harus bisa membenahi sejumlah hal utama seperti high cost economy dan kondisi infrastruktur demi kepentingan nasional. Pemerintah juga belum memberikan dukungan penuh kepada para pengusaha selain itu pemerintah belum memberikan kebijakan yang bisa meringankan pengusaha, baik pemberian insentif maupun besaran bea keluar untuk sejumlah komoditas ekspor.
Pemerintah boleh saja berbesar hati dan bangga dengan pertumbuhan industri yang terbilang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, biaya logistik yang terlampau mahal serta buruknya infrastruktur membuat para pelaku usaha di Indonesia “nervous” menghadapi AEC 2015. Faktor penyebab mahalnya penanganan logistik itu terkait dengan pelayanan di pelabuhan yang tidak efisien, penanganan dokumen kepabeanan, maraknya pungutan liar, dan buruknya infrastruktur logistik di dalam negeri. Mahalnya ongkos logistik di Indonesia menjadi fokus bersama untuk dicarikan solusi dalam rangka menghadapi globalisasi sistem logistik di AEC 2015. Di Indonesia, biaya logistik rata-rata masih 16% dari  total  biaya produksi. Adapun normalnya maksimal hanya 9%-10%.
Pengintegrasian logistik ASEAN akan didukung dengan kebijakan liberalisasi logistik yang antara lain meliputi bidang usaha sea cargo handling (penanganan kargo laut), storage and warehousing (penyimpanan dan pergudangan), agen transportasi, jasa kurir, layanan paket, kepabeanan, broker kargo, inspeksi kargo, dan jasa dokumen transportasi. Waktu penyelesaian pengeluaran barang di pelabuhan Indonesia juga masih jauh lebih lama dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN. Dicontohkan sebagai berikut, waktu penanganan pengeluaran barang di pelabuhan Singapura rata-rata hanya 0,8 hari dan Malaysia 1,7 hari, sedangkan di pelabuhan Indonesia membutuhkan waktu hingga 3 hari untuk barang yang masuk kategori jalur hijau dan lebih dari 5 hari untuk jalur merah.
Infrastruktur fisik yang telah menjadi masalah di Republik ini selama 20 tahun juga jadi sebuah masalah yang kompleks dalam menghadapi AEC 2015. Jika distribusi sulit maka akan berimbas pada mahalnya harga suatu barang. Contohnya jeruk mandarin yang didatangkan langsung dari Tiongkok lebih murah daripada jeruk Kalimantan. Hal ini terjadi karena biaya transportasi dari Kalimantan ke Jawa lebih mahal dibanding dari China ke Jawa. Sama halnya seperti harga semen, misalnya harga semen di Papua lebih mahal 2 kali atau bahkan 3 kali lipat lebih tinggi dibanding harga semen di Jawa dengan alasan jarak pabrik yang jauh. Contoh lain dalam bidang pariwisata, biaya perjalanan dari Jakarta ke Bangkok lebih murah dibandingkan biaya perjalanan dari Jakarta ke Raja Ampat. Selain logistik dan infrastruktur, kelambanan birokrasi dan mahalnya izin usaha juga ikut ambil andil dalam gagalnya pengusaha Indonesia bersaing di AEC 2015.
Belum lagi masalah bagi para pekerja yang akan menghadapi kesepakatan ASEAN Free Trade Agreement akhir 2015 atau perdagangan bebas. Sebenarnya dari pelaku usaha bebas untuk memilih pekerja, tapi kebanyakan pekerja-pekerja yang memiliki keterampilan atau yang berada di level manajemen ke atas lebih terampil para pekerja asing dibanding pekerja lokal. Pemerintah harus turun tangan untuk menyelamatkan pekerja-pekerja tersebut dengan membuat sebuah lembaga sertifikasi profesi karena dalam masyarakat ekonomi ASEAN nantinya pekerja-pekerja yang diutamakan adalah pekerja yang memiliki sertifikat profesi. Mungkin sudah saatnya sekarang para pekerja keluar dari isu soal Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Kehidupan Hidup Layak (KHL), tetapi sekarang lebih kepada program untuk meningkatkan produktivitas dan skill para pekerja agar bisa menghadapi ‘kenyataan’ di AEC 2015.
Bersama Raih AEC 2015
Indonesia merupakan negara heterogen dengan berbagai jenis suku, bahasa, dan  adat  istiadat yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Kita berharap terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak sehingga terjadi suatu dialog antar sektor. Nantinya juga diharapkan saling melengkapi di antara para pemangku kepentingan sektor ekonomi di    negara-negara ASEAN. Misalnya infrastruktur, jika kita berbicara tentang infrastruktur, mungkin Indonesia masih sangat dinilai lemah dalam menghadapi AEC ini, namun pemerintah melalui Menteri Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengaku persiapan menghadapi AEC 2015 sudah bergulir sekitar 80% dan berharap mencapai 100% hingga akhir tahun ini. Persiapan tersebut meliputi pembenahan dan perbaikan infrastruktur, konektivitas antar daerah yang diharapkan bisa mendongkrak daya saing, dan pembenahan sistem distribusi barang agar lebih efisien. Senada seperti yang diutarakan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Mari Elka Pangestu mengutarakan akan dibangunnya beberapa bandara seperti proyek yang akan berjalan pembuatan bandara di Toraja (Sulawesi Selatan) dan Raja Ampat (Papua).
Jika kita mau ‘menampar’ pipi kita sendiri mungkin kita baru sadar sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara yang produktif. Dilihat dari faktor usia, sebagian besar penduduk Indonesia sekitar 70% merupakan usia produktif. Pada sisi ketenagakerjaan, kita memiliki 110 juta tenaga kerja. Namun, apakah sekarang ini kita sudah memanfaatkan jumlah itu dengan maksimal?
Kita harus mampu meningkatkan kepercayaan diri. Sebetulnya Indonesia diprediksi akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri, apalagi dengan sumber daya alam yang begitu besar, maka akan sangat tidak masuk akal apabila kita tidak bisa berbuat sesuatu dengan hal tersebut. Melihat kondisi  ekonomi Indonesia yang stabil dan mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, sebenarnya dapat disimpulkan mengenai kesiapan Indonesia dalam menyongsong AEC 2015 bisa dikatakan siap. Itu dapat dilihat dari keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai masalah  pada  bidang  ekonomi,  baik itu masalah dalam negeri maupun luar negeri.
Indonesia juga telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Kesenjangan antara pemerintah pusat dengan daerah lalu mengurangi kesenjangan antara pengusaha besar dengan usaha kecil dan menengah (UKM) serta peningkatan dalam beberapa sektor yang mungkin masih harus didorong untuk meningkatkan daya saing. AEC sebenarnya merupakan bentuk integrasi ekonomi yang sangat potensial di  kawasan ASEAN maupun di dunia. Barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas di kawasan ini. Integrasi ekonomi regional memang suatu kecenderungan dan keharusan di era global saat ini.

Kita juga dituntut harus bisa memanfaatkan sumber daya alam melalui era industri kreatif. Ada tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang agar SDM ini dapat bersaing dengan bangsa-bangsa di Asia tenggara. Ketiga hal itu adalah high tech, high concept dan high touch.
High tech adalah kemampuan untuk menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Arus teknologi dapat menjadi keuntungan bagi seorang individu dalam mengembangkan dirinya, atau bahkan bisa menjadi bumerang apabila kita gagap teknologi. Dengan adanya teknologi, dunia dapat digenggam oleh tangan. Oleh sebab itu, mari kita belajar untuk dapat mempelajari teknologi yang berada disekeliling kita untuk dapat melihat arus informasi.
High concept adalah kemampuan yang harus dimiliki seseorang, untuk dapat menciptakan ide-ide kreatif. Disini ibaratnya seseorang dituntut agar bisa memiliki kemampuan dalam mengubah sampah menjadi emas. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin dan segala sesuatu di dunia ini diciptakan Tuhan juga bukan tanpa manfaat. Kemampuan yang ketiga adalah high touch, ini adalah kemampuan dalam bidang social untuk dapat bekerja sama dengan orang lain.
Kita harus segera berkaca dan berbenah diri untuk menghadapi persaingan yang lebih kompetitif dan berkualitas global. Tidak sampai satu tahun lagi kita tiba di gerbang AEC 2015, kita sudah harus siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang agar tidak terbengong-bengong menyaksikan lalu-lalang tenaga asing di ‘rumah kita’, agar tidak menjadi ‘babu’ di rumah sendiri. Semoga seluruh masyarakat Indonesia ini bisa saling membantu dan sadar agar terwujud kehidupan ekonomi dan sosial yang layak.  

Mari bersama kita ucapkan “AEC 2015?...Siapa takut!!!!

0 komentar:

Posting Komentar