Tidak bisa dipungkiri
rasa optimis adalah sebuah langkah awal untuk menggapai kesuksesan kita. Tanpa
adanya rasa optimis tersebut mustahil untuk kita bisa menciptakan langkah
pertama kita dijalur kesuksesan yang akan dituju. Dari sebuah keoptimisan juga merupakan
akar dari kita bisa berpikir positif dalam menggapai impian dan cita-cita kita.
Pernah suatu
ketika saya jumpai sebuah perbincangan dua kawan saya, dimana si A dengan
semangat yang ‘amat sangat membara’ menuangkan keoptimisannya dalam dia mencapai
kesuksesan karirnya tapi kobaran semangat tersebut hanya ditanggapi datar oleh
kawannya si B, “Gak usah takabur,
nanti kalo gak kesampaian gila lho.”
Melihat dari dialog
yang berimbas pada hancurnya mental si A tersebut mungkin bisa terlihat perbedaan
yang tipis antara optimistis dan takabur khususnya bagi sebagian orang yang ‘mungkin’
belum akrab betul dengan apa yang namanya optimistis atau mungkin bisa saja
malah si B ini sudah terlalu bersahabat dengan rasa trauma yang ditimbulkan
dari rasa optimis itu sehingga menciptakan paradigma optimis itu awal dari
sebuah ketakaburan.
Setipis Itukah Perbedaannya
Sebenarnya
antara optimistis dan takabur itu memiliki jurang pemisah yang jelas, namun
jika kita benar-benar bisa sadar dan bisa melihat jurang tersebut. Kita mulai
dari pengharfiahan dua kata itu, optimistis itu sendiri merupakan harapan dalam
cara orang menghadapi kehidupan. Optimistis adalah lawan pesimistis, yang
merupakan gejala umum depresi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
disebutkan bahwa arti optimistis ialah sifat yang selalu berpandangan baik
dalam menghadapi segala hal.
Optimistis merupakan
doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik.
Dengan optimistis pula berarti kita memiliki kecenderungan batin untuk
merencanakan aksi, peristiwa atau hasil yang lebih baik. Jika ditarik
kesimpulan mengenai optimistis itu maka, optimistis berarti kita meyakini
adanya kehidupan yang lebih baik dan keyakinan itu kita gunakan untuk
menjalankan aksi yang lebih baik guna meraih hasil yang lebih baik pula.
Bagaimana dengan
takabur, takabur sendiri lebih identik dengan kesombongan seseorang atau lebih
tepatnya sikap membanggakan diri, merasa dirinya lebih besar, lebih baik, lebih
pandai, atau lebih kaya sehingga meremehkan orang lain, dengan kata lain orang
yang ‘besar kepala’. Dalam kasus ini kita anggap optimis yang dimiliki si A
sebagai sebuah kesombongan oleh si B, sehingga menganggap si A ini orang yang
takabur.
Walaupun bisa
dikatakan optimistis dan takabur sama-sama mengatakan sesuatu yang besar, namun
perbedaanya terletak pada sejauh mana seseorang mengenal potensi dirinya
sendiri. Dan hal ini juga sudah mulai terlihat dari cara penyampaian orang
tersebut, orang yang optimistis akan menyampaikan dengan bijak, sementara orang
yang takabur akan terkesan arogan ketika menyampaikan impiannya. Satu hal yang
perlu kita ingat bahwa optimistis adalah separuh jalan menuju keberhasilan
sementara takabur adalah separuh jalan menuju kegagalan.
Jangan Sampai Terkontaminasi
Sangat kentara perbedaan
antara optimistis dan takabur, dimana yang satu lebih mengacu ke hal yang
positif dan yang satu lagi lebih mengacu ke hal yang negatif. Lalu sekarang pertanyaannya
bagaimana caranya agar hal positif yang sudah kita miliki ini tidak dipandang
negatif bagi orang lain, dan juga agar kita yang memiliki sifat positif ini
tidak berlebihan yang berdampak malah menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.
Seperti yang
sudah dibahas sebelumnya, kita harus bisa mengenali potensi diri kita, sejauh
mana potensi yang kita miliki untuk mencapai goal yang akan kita tuju. Hati-hati dalam pengenalan potensi ini
karena jika berlebihan maka akan lahirlah dengan apa yang dinamakan sombong atau
takabur, begitu juga sebaliknya jika dalam proses pengenalan diri ini kita
menilai terlalu kurang atas potensi yang kita miliki padahal kenyataannya
potensi yang kita miliki cukup besar, maka akan tercipta lawan kata dari
optimistis yaitu pesimistis.
Menurut ahli psikologi dari Universitas
Harvard dan juga pencetus teori Multiple Intelligence,
Prof. Howard Gardner , ada 9
macam kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, yaitu Kecerdasan verbal, kecerdasan
matematis, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetis tubuh, kecerdasan spesial,
kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan
linguistik. Setiap orang dibekali salah satu atau bahkan lebih atas kecerdasan
tersebut secara menonjol. Dari kecerdasan tersebut maka munculah sebuah potensi
diri.
Berani untuk
mencoba adalah salah satu cara kita agar mengetahui potensi yang ada di diri
kita. Jika kita takut mencoba maka kita tidak akan pernah memiliki pengalaman. Karena
pengalamanlah yang akan ‘menampar’ kita agar sadar atas suatu bakat atau
potensi yang terpendam pada diri kita. Potensi akan berkembang biak pada orang yang
telah mengetahui kemampuanya dengan catatan orang itu berkeinginan kuat untuk
mengembangkannya. Kita harus sadar bahwa di dunia ini tidak ada orang yang
bodoh, tidak mampu, tidak berbakat, dan tidak berpotensi. Setiap orang
merupakan emas yang mempunyai potensi besar yang terpendam pada diri sendiri.
Hanya saja, banyak orang belum menyadari potensi tersebut. Potensi juga bisa
berkembang maksimal melebihi perkiraan kita. Semua tergantung pada cara kita
memandang potensi diri dan motivasi untuk mengembangkannya.
Selain itu kita juga harus memiliki
pola pikir yang positif. Pertama dan yang paling utama kita harus bisa berpikir
positif kepada Allah SWT, hal ini wajib dan harga mati. Arsitek terbaik
ialah Allah SWT, sehebat apapun rencana kita tetap lebih hebat rencana-Nya.
Percayalah akan hal itu, jika kita telah memiliki sifat optimis dan telah
menjalani segala langkah kita dengan baik namun kita masih mengalami kegagalan
jangan pernah anda terjatuh tanpa bisa bangkit kembali, apalagi sampai kita
menyalahkan-Nya. Setiap apapun yang diciptakan Allah SWT pasti ada manfaatnya,
begitu juga dengan kegagalan yang kita dapatkan pasti ada hikmahnya. Kalau
sampai kita tidak percaya akan hal ini, maka akan ada sifat takabur kepada Allah SWT.
Kedua kita harus
bisa berpikir positif pada diri sendiri karena setiap manusia dilahirkan
sebagai pribadi yang unik. Sifat dan pribadi yang unik ini wajib kita jaga. Karena
hal itu adalah potensi positif yang kita miliki dan juga modal dasar untuk
mencapai keleluasaan langkah kita dalam menggapai target-target kesuksesan kita.
Bagaimana mungkin orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri saja
malah meremehkan dan ‘menina bobokan’ potensi positif yang kita miliki. Fakta berbicara,
dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Ayah kita ternyata yang mampu
menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi hanya satu. Itulah kita, ‘sang
juara’ jadi tidak ada alasan untuk kita berpikir negatif terhadap diri kita
sendiri. Karena kita adalah yang terbaik.
Yang ketiga
ialah bisa berpikir positif pada orang lain. Ingat! orang lain itu manusia
biasa yang sama seperti kita. Kita semua mempunyai kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan.
Yang tentu tidak dikehendaki oleh hati nuraninya. Pandanglah orang lain itu
dari sisi positifnya dan juga menerima sisi negatifnya sebagai pembelajaran untuk
kita. Meremehkan orang lain ialah bibit dari tumbuh suburnya benih kesombongan
yang berbuah pada ketakaburan.
Terakhir miliki
pikiran positif pada waktu dan keadaan. Setiap manusia punya jatah waktu yang
sama. Sebanyak 86.400 detik sehari, tergantung mau digunakan untuk apa jatah waktu
tersebut karena waktu itu tidak akan menggugat atas apa yang kita lakukan
terhadap waktu yang kita miliki. Yang jelas, setiap detik hidup kita akan
diminta pertanggungjawabannya kelak. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya
dengan amal-amalan saleh/kebaikan dan berada dalam keimanan, maka ia akan
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Takabur atau
sombong lebih kepada membandingkan diri kita dengan orang lain, tapi optimis
justru sebaliknya. Optimis lebih menitikberatkan pada persamaan derajat antar
manusia. Orang akan optimis jika dia merasa memiliki derajat yang sama dengan
orang lain. Merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain justru
akan menimbulkan sikap negatif bernama kesombongan.
Saat kita merasa
bahwa kita memiliki kesamaan derajat dengan orang lain, maka kita pun bisa
mendapatkan atau memiliki kehebatan seperti orang-orang hebat, karena tidak ada
bedanya. Begitu juga, jika kita melihat orang lain yang tidak sehebat kita,
maka kita akan paham dengan dua kemungkinan. Pertama orang tersebut bisa lebih
hebat di bidang lain. Kedua orang tersebut hanya belum menampilkan diri dia apa
adanya.
Percaya diri
fokus pada keyakinan akan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia, kepada
dirinya dan juga sama kepada orang lain. Bukti kehebatan potensi yang diberikan
Tuhan bisa dilihat dari orang lain yang mampu mencapai pencapaian hebat,
sementara potensinya sama dengan kita.
Optimistis Mampu Membunuh Pesimistis
Setelah
optimistis kita sudah steril dari hal negatif selanjutnya kita harus terus memelihara
optimistis ini agar tidak layu dan mati yang berakibat tumbuhnya akar pohon pesimistis.
Pakar psikolog dari Jerman, Peter Lauster, dalam Tes Kepribadian dia menjelaskan beberapa poin
tentang bagaimana seseorang mampu membunuh rasa pesimisnya dengan optimistis.
Pertama, kalau
kita semakin mengharapkan kegagalan maka semakin besar kemungkinannya untuk kita
benar-benar ditimpa kegagalan sebagai akibat pengharapan kita yang negatif.
Oleh karena itu, setiap saat selalu berfikir positif. Pengharapan dan optimisme
itu mengundang keberhasilan.
Kedua cobalah
mencari sesuatu yang positif walaupun dalam kegiatan yang tak menyenangkan.
Dengan berbuat demikian kita akan meningkatkan apa yang hanya kelihatan sebagai
kemungkinan kecil untuk berhasil, karena kita bertindak secara lebih optimis
dan lebih dinamis. Poin ketiga adalah cobalah menerima kegagalan dengan rasa
humor. Setiap orang yang punya rasa humor sanggup dengan mudah mengatasi suatu
kejadian yang negatif, dan pesimisme timbul kalau kurang rasa humor
Yang keempat
ialah jangan memikirkan persoalan kita terlalu dalam. Jangan, walaupun hanya
dalam khayalan kita. arahkan semua kekuatan kita pada tindakan yang berhasil.
Pada poin kelima adalah dalam situasi bagaimana pun juga cobalah mendapatkan
sikap yang paling positif. Kita akan mendapatkan bahwa tidak lama akan sukses
kecil di sana sini. Dan itu selanjutnya akan menghidupkan kepercayaan pada diri
kita sendiri.
Keenam ialah jangan
menggunakan pesimisme kita sebagai penyangga untuk melindungi kita dari
kekecewaan yang mungkin terjadi. Ini adalah kelemahan yang harus kita perangi
sampai habis. Poin ketujuh, kalau kita gagal memecahkan persoalan jangan
dihiraukan berapa banyak kesalahan yang kita buat, tapi carilah solusi yang
benar. Kesalahan hanya mematahkan semangat dan mengakibatkan turunnya
kepercayaan.
Kedelapan adalah
dalam waktu senggang cobalah kita menemui orang-orang yang optimis dan
perhatikanlah tingkah laku mereka. kita akan mempelajari bagaimana mereka menanamkan
sikap yang optimis. Dan lebih lagi secara tidak disadari api optimisme akan
menyala dalam diri kita. Kesembilan, selalu ingat bahwa pesimisme bukanlah
sifat bawaan. Seperti kebanyakan sifat manusia lainnya, pesimisme dapat
dikurangi dan dirubah menjadi satu sikap yang baru yang bernama Optimisme. Yang
terakhir ialah jika sikap optimisme mengakibatkan sukses, maka berilah
penghargaan pada kenyataan bahwa karena optimismelah kita berhasil.
Gamblang sudah
perbedaan antara optimistis dengan takabur. Dan juga sudah terpapar jelas
bagaimana agar tidak terjadi percampuran dua perbedaan ini yang menciptakan stereotip
untuk menilai ‘orang optimistis itu takabur’ atau ‘orang optimistis itu sombong’.
Maka optimislah dalam mencapai semua impian kita dengan tetap berpikir positif
dan berempati terhadap sesama, jika itu dapat dipraktekkan dengan baik maka
bukan hanya kesuksesan dunia yang kita dapat tapi juga kesuksesan akhirat yang
kekal akan kita raih. Terakhir saya hadiahkan sedikit kutipan yang ‘menyentil’
untuk mata dan pikiran kita.
“A pessimist sees the difficulty in every opportunity; an optimist sees
the opportunity in every difficulty.” ― Winston Churchill


0 komentar:
Posting Komentar