Jumat, 21 Februari 2014 | By: Sick6shit

Optimistis Bukan Takabur

Tidak bisa dipungkiri rasa optimis adalah sebuah langkah awal untuk menggapai kesuksesan kita. Tanpa adanya rasa optimis tersebut mustahil untuk kita bisa menciptakan langkah pertama kita dijalur kesuksesan yang akan dituju. Dari sebuah keoptimisan juga merupakan akar dari kita bisa berpikir positif dalam menggapai impian dan cita-cita kita.

Pernah suatu ketika saya jumpai sebuah perbincangan dua kawan saya, dimana si A dengan semangat yang ‘amat sangat membara’ menuangkan keoptimisannya dalam dia mencapai kesuksesan karirnya tapi kobaran semangat tersebut hanya ditanggapi datar oleh kawannya si B, “Gak usah takabur, nanti kalo gak kesampaian gila lho.”
Melihat dari dialog yang berimbas pada hancurnya mental si A tersebut mungkin bisa terlihat perbedaan yang tipis antara optimistis dan takabur khususnya bagi sebagian orang yang ‘mungkin’ belum akrab betul dengan apa yang namanya optimistis atau mungkin bisa saja malah si B ini sudah terlalu bersahabat dengan rasa trauma yang ditimbulkan dari rasa optimis itu sehingga menciptakan paradigma optimis itu awal dari sebuah ketakaburan.

Setipis Itukah Perbedaannya
Sebenarnya antara optimistis dan takabur itu memiliki jurang pemisah yang jelas, namun jika kita benar-benar bisa sadar dan bisa melihat jurang tersebut. Kita mulai dari pengharfiahan dua kata itu, optimistis itu sendiri merupakan harapan dalam cara orang menghadapi kehidupan. Optimistis adalah lawan pesimistis, yang merupakan gejala umum depresi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa arti optimistis ialah sifat yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal.
Optimistis merupakan doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik. Dengan optimistis pula berarti kita memiliki kecenderungan batin untuk merencanakan aksi, peristiwa atau hasil yang lebih baik. Jika ditarik kesimpulan mengenai optimistis itu maka, optimistis berarti kita meyakini adanya kehidupan yang lebih baik dan keyakinan itu kita gunakan untuk menjalankan aksi yang lebih baik guna meraih hasil yang lebih baik pula.
Bagaimana dengan takabur, takabur sendiri lebih identik dengan kesombongan seseorang atau lebih tepatnya sikap membanggakan diri, merasa dirinya lebih besar, lebih baik, lebih pandai, atau lebih kaya sehingga meremehkan orang lain, dengan kata lain orang yang ‘besar kepala’. Dalam kasus ini kita anggap optimis yang dimiliki si A sebagai sebuah kesombongan oleh si B, sehingga menganggap si A ini orang yang takabur.
Walaupun bisa dikatakan optimistis dan takabur sama-sama mengatakan sesuatu yang besar, namun perbedaanya terletak pada sejauh mana seseorang mengenal potensi dirinya sendiri. Dan hal ini juga sudah mulai terlihat dari cara penyampaian orang tersebut, orang yang optimistis akan menyampaikan dengan bijak, sementara orang yang takabur akan terkesan arogan ketika menyampaikan impiannya. Satu hal yang perlu kita ingat bahwa optimistis adalah separuh jalan menuju keberhasilan sementara takabur adalah separuh jalan menuju kegagalan.

Jangan Sampai Terkontaminasi
Sangat kentara perbedaan antara optimistis dan takabur, dimana yang satu lebih mengacu ke hal yang positif dan yang satu lagi lebih mengacu ke hal yang negatif. Lalu sekarang pertanyaannya bagaimana caranya agar hal positif yang sudah kita miliki ini tidak dipandang negatif bagi orang lain, dan juga agar kita yang memiliki sifat positif ini tidak berlebihan yang berdampak malah menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kita harus bisa mengenali potensi diri kita, sejauh mana potensi yang kita miliki untuk mencapai goal yang akan kita tuju. Hati-hati dalam pengenalan potensi ini karena jika berlebihan maka akan lahirlah dengan apa yang dinamakan sombong atau takabur, begitu juga sebaliknya jika dalam proses pengenalan diri ini kita menilai terlalu kurang atas potensi yang kita miliki padahal kenyataannya potensi yang kita miliki cukup besar, maka akan tercipta lawan kata dari optimistis yaitu pesimistis.
 Menurut ahli psikologi dari Universitas Harvard dan juga pencetus teori Multiple Intelligence, Prof. Howard Gardner , ada 9 macam kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, yaitu Kecerdasan verbal, kecerdasan matematis, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetis tubuh, kecerdasan spesial, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan linguistik. Setiap orang dibekali salah satu atau bahkan lebih atas kecerdasan tersebut secara menonjol. Dari kecerdasan tersebut maka munculah sebuah potensi diri.
Berani untuk mencoba adalah salah satu cara kita agar mengetahui potensi yang ada di diri kita. Jika kita takut mencoba maka kita tidak akan pernah memiliki pengalaman. Karena pengalamanlah yang akan ‘menampar’ kita agar sadar atas suatu bakat atau potensi yang terpendam pada diri kita. Potensi akan berkembang biak pada orang yang telah mengetahui kemampuanya dengan catatan orang itu berkeinginan kuat untuk mengembangkannya. Kita harus sadar bahwa di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, tidak mampu, tidak berbakat, dan tidak berpotensi. Setiap orang merupakan emas yang mempunyai potensi besar yang terpendam pada diri sendiri. Hanya saja, banyak orang belum menyadari potensi tersebut. Potensi juga bisa berkembang maksimal melebihi perkiraan kita. Semua tergantung pada cara kita memandang potensi diri dan motivasi untuk mengembangkannya.
Selain itu kita juga harus memiliki pola pikir yang positif. Pertama dan yang paling utama kita harus bisa berpikir positif kepada Allah SWT, hal ini wajib dan harga mati. Arsitek terbaik ialah Allah SWT, sehebat apapun rencana kita tetap lebih hebat rencana-Nya. Percayalah akan hal itu, jika kita telah memiliki sifat optimis dan telah menjalani segala langkah kita dengan baik namun kita masih mengalami kegagalan jangan pernah anda terjatuh tanpa bisa bangkit kembali, apalagi sampai kita menyalahkan-Nya. Setiap apapun yang diciptakan Allah SWT pasti ada manfaatnya, begitu juga dengan kegagalan yang kita dapatkan pasti ada hikmahnya. Kalau sampai kita tidak percaya akan hal ini, maka akan ada sifat takabur kepada Allah SWT.

Kedua kita harus bisa berpikir positif pada diri sendiri karena setiap manusia dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Sifat dan pribadi yang unik ini wajib kita jaga. Karena hal itu adalah potensi positif yang kita miliki dan juga modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita dalam menggapai target-target kesuksesan kita. Bagaimana mungkin orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri saja malah meremehkan dan ‘menina bobokan’ potensi positif yang kita miliki. Fakta berbicara, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Ayah kita ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi hanya satu. Itulah kita, ‘sang juara’ jadi tidak ada alasan untuk kita berpikir negatif terhadap diri kita sendiri. Karena kita adalah yang terbaik.
Yang ketiga ialah bisa berpikir positif pada orang lain. Ingat! orang lain itu manusia biasa yang sama seperti kita. Kita semua mempunyai kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Yang tentu tidak dikehendaki oleh hati nuraninya. Pandanglah orang lain itu dari sisi positifnya dan juga menerima sisi negatifnya sebagai pembelajaran untuk kita. Meremehkan orang lain ialah bibit dari tumbuh suburnya benih kesombongan yang berbuah pada ketakaburan.
Terakhir miliki pikiran positif pada waktu dan keadaan. Setiap manusia punya jatah waktu yang sama. Sebanyak 86.400 detik sehari, tergantung mau digunakan untuk apa jatah waktu tersebut karena waktu itu tidak akan menggugat atas apa yang kita lakukan terhadap waktu yang kita miliki. Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh/kebaikan dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Takabur atau sombong lebih kepada membandingkan diri kita dengan orang lain, tapi optimis justru sebaliknya. Optimis lebih menitikberatkan pada persamaan derajat antar manusia. Orang akan optimis jika dia merasa memiliki derajat yang sama dengan orang lain. Merasa memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain justru akan menimbulkan sikap negatif bernama kesombongan.
Saat kita merasa bahwa kita memiliki kesamaan derajat dengan orang lain, maka kita pun bisa mendapatkan atau memiliki kehebatan seperti orang-orang hebat, karena tidak ada bedanya. Begitu juga, jika kita melihat orang lain yang tidak sehebat kita, maka kita akan paham dengan dua kemungkinan. Pertama orang tersebut bisa lebih hebat di bidang lain. Kedua orang tersebut hanya belum menampilkan diri dia apa adanya.
Percaya diri fokus pada keyakinan akan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia, kepada dirinya dan juga sama kepada orang lain. Bukti kehebatan potensi yang diberikan Tuhan bisa dilihat dari orang lain yang mampu mencapai pencapaian hebat, sementara potensinya sama dengan kita.

Optimistis Mampu Membunuh Pesimistis
Setelah optimistis kita sudah steril dari hal negatif selanjutnya kita harus terus memelihara optimistis ini agar tidak layu dan mati yang berakibat tumbuhnya akar pohon pesimistis. Pakar psikolog dari Jerman, Peter Lauster, dalam  Tes Kepribadian dia menjelaskan beberapa poin tentang bagaimana seseorang mampu membunuh rasa pesimisnya dengan optimistis.
Pertama, kalau kita semakin mengharapkan kegagalan maka semakin besar kemungkinannya untuk kita benar-benar ditimpa kegagalan sebagai akibat pengharapan kita yang negatif. Oleh karena itu, setiap saat selalu berfikir positif. Pengharapan dan optimisme itu mengundang keberhasilan.
Kedua cobalah mencari sesuatu yang positif walaupun dalam kegiatan yang tak menyenangkan. Dengan berbuat demikian kita akan meningkatkan apa yang hanya kelihatan sebagai kemungkinan kecil untuk berhasil, karena kita bertindak secara lebih optimis dan lebih dinamis. Poin ketiga adalah cobalah menerima kegagalan dengan rasa humor. Setiap orang yang punya rasa humor sanggup dengan mudah mengatasi suatu kejadian yang negatif, dan pesimisme timbul kalau kurang rasa humor
Yang keempat ialah jangan memikirkan persoalan kita terlalu dalam. Jangan, walaupun hanya dalam khayalan kita. arahkan semua kekuatan kita pada tindakan yang berhasil. Pada poin kelima adalah dalam situasi bagaimana pun juga cobalah mendapatkan sikap yang paling positif. Kita akan mendapatkan bahwa tidak lama akan sukses kecil di sana sini. Dan itu selanjutnya akan menghidupkan kepercayaan pada diri kita sendiri.
Keenam ialah jangan menggunakan pesimisme kita sebagai penyangga untuk melindungi kita dari kekecewaan yang mungkin terjadi. Ini adalah kelemahan yang harus kita perangi sampai habis. Poin ketujuh, kalau kita gagal memecahkan persoalan jangan dihiraukan berapa banyak kesalahan yang kita buat, tapi carilah solusi yang benar. Kesalahan hanya mematahkan semangat dan mengakibatkan turunnya kepercayaan.
Kedelapan adalah dalam waktu senggang cobalah kita menemui orang-orang yang optimis dan perhatikanlah tingkah laku mereka. kita akan mempelajari bagaimana mereka menanamkan sikap yang optimis. Dan lebih lagi secara tidak disadari api optimisme akan menyala dalam diri kita. Kesembilan, selalu ingat bahwa pesimisme bukanlah sifat bawaan. Seperti kebanyakan sifat manusia lainnya, pesimisme dapat dikurangi dan dirubah menjadi satu sikap yang baru yang bernama Optimisme. Yang terakhir ialah jika sikap optimisme mengakibatkan sukses, maka berilah penghargaan pada kenyataan bahwa karena optimismelah kita berhasil.
Gamblang sudah perbedaan antara optimistis dengan takabur. Dan juga sudah terpapar jelas bagaimana agar tidak terjadi percampuran dua perbedaan ini yang menciptakan stereotip untuk menilai ‘orang optimistis itu takabur’ atau ‘orang optimistis itu sombong’. Maka optimislah dalam mencapai semua impian kita dengan tetap berpikir positif dan berempati terhadap sesama, jika itu dapat dipraktekkan dengan baik maka bukan hanya kesuksesan dunia yang kita dapat tapi juga kesuksesan akhirat yang kekal akan kita raih. Terakhir saya hadiahkan sedikit kutipan yang ‘menyentil’ untuk mata dan pikiran kita.

A pessimist sees the difficulty in every opportunity; an optimist sees the opportunity in every difficulty.” ― Winston Churchill

0 komentar:

Posting Komentar